Tuesday, October 8, 2024

Kolaborasi Implementasi Pendidikan Perubahan Iklim dalam Kurikulum Merdeka

        Cuaca panas ekstrem yang kita rasakan akhir-akhir ini bukan tanpa sebab. Peningkatan suhu bumi diduga sebagai tanda adanya perubahan iklim secara global. Perubahan iklim adalah pergeseran jangka panjang suhu rata-rata bumi dan kondisi cuaca. Kondisi ini disebabkan oleh meningkatnya emisi gas rumah kaca akibat pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan industrialisasi yang dilakukan manusia. Dampaknya tentu tidak bisa dianggap remeh karena dapat mengancam kelestarian keanekaragaman hayati termasuk manusia itu sendiri.  

        Dalam rangka merespon isu Perubahan Iklim ini, Kemendikbudristek RI telah mengambil langkah nyata. Melalui Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Kemendikbudristek RI menerbitkan Panduan Pendidikan Perubahan Iklim. Panduan ini merupakan bagian penting dalam Kurikulum Merdeka yang diharapkan dapat menjadi acuan bagi sekolah, guru, orang tua, dan seluruh pemangku kepentingan untuk melaksanakan pendidikan yang ramah lingkungan. Mengingat filosofi Kurikulum Merdeka tentang membangun manusia merdeka yang dapat bersandar atas kekuatannya sendiri, maka perubahan iklim pun perlu disikapi dengan adanya aksi bersama di level global maupun lokal, termasuk di tingkat satuan pendidikan. 

        Dengan adanya Pendidikan Perubahan Iklim, diharapkan peserta didik dapat dipersiapkan untuk menjadi generasi yang berketahanan terhadap dampak krisis iklim sekaligus berkontribusi dalam menurunkan emisi, serta turut menjadi solusi dalam isu lingkungan di sekitarnya. Tujuan Pendidikan Perubahan Iklim dalam Kurikulum Merdeka termasuk untuk mendukung Indonesia dalam memanfaatkan kesempatan ekonomi hijau, yaitu pertumbuhan ekonomi yang lestari dan rendah karbon, mewujudukan potensi solusi iklim berbasis alam, kesempatan pekerjaan hijau dalam transisi karbon dan pondasi bagi pengembangan keterampilan hijau. 

        Pendidikan Perubahan Iklim dalam Kurikulum Merdeka diimplementasikan dengan prinsip dan pendekatan “RAMAH”, yang merupakan kependekan dari Relevan, Afektif, Merujuk Pengetahuan, Aksi Nyata dan Holistik. Dengan prinsip relevan, Pendidikan Perubahan Iklim disampaikan dengan memberikan pemahaman global, namun diterapkan sesuai keunikan konteks krisis iklim di daerah satuan pendidikan. Pendekatan afektif artinya Pendidikan Perubahan Iklim diharapkan bisa menginspirasi untuk mengambil peran aktif dengan menyentuh perasaan/emosi, menumbuhkan empati, membangun nilai dan etika. Pendidikan Perubahan Iklim sepatutnya merujuk pengetahuan, yaitu menggunakan data illmiah, informasi teknologi, kearifan lokal, bahkan informasi yang berasal dari alam sekitar. Output Pendidikan Perubahan Iklim tentunya diharapkan menjadi aksi nyata untuk memecahkan permasalahan krisis iklim di lingkungan satuan pendidikan. Dengan adanya pendekatan holistik, isu Perubahan Iklim dapat dipelajari dalam berbagai mata pelajaran bahkan menjadi bagian dari intrakurikuler, kokurikuler, ekstrakurikuler, bahkan budaya sekolah.      

        Buku Panduan Pendidikan Perubahan Iklim yang telah diluncurkan Kemendikbudristek RI sebagai alat bantu implementasi tentunya tidak menambah beban baru di luar Kurikulum Merdeka, namun melengkapi praktik baik yang sudah berjalan. Satuan Pendidikan juga diberi keleluasaan untuk memakai sumber daya yang sudah ada. Penerapannya pun tidak hanya menggantungkan pada tenaga pendidik, tetapi melibatkan seluruh pemangku kepentingan, yaitu tenaga pendidik, peserta didik, masyarakat sekitar, pemerintah daerah, bahkan orang tua.

        Orang tua perlu mendukung Pendidikan Perubahan Iklim sesuai amanah Ki Hadjar Dewantara, yaitu pendidikan berpusat bukan hanya di sekolah dan masyarakat, tetapi juga dalam keluarga. Langkah nyata kolaborasi satuan pendidikan dengan orang tua yang dapat dilakukan antara lain: 

1. Berangkat dari konteks lokal: apa tantangan iklim di sekitar saya? 

Contohnya di Bandung, kota tempat tinggal kami, sempat terjadi penumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) hingga menyebabkan kebakaran. Dampaknya, petugas sampah tak mampu membuang sampah ke TPA hingga akhirnya sampah-sampah pun berserakan di pinggir jalan. 

2. Memberikan paparan informasi yang benar dengan mengaitkan pada konteks lokal

Di sekolah anak kami pada semester lalu dilakukan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) dengan tema “Gaya Hidup Berkelanjutan”. Pada kegiatan tersebut dilakukan pengenalan terhadap jenis-jenis sampah dan peran bank sampah di sekitar Bandung dalam pengelolaan sampah.

3. Membangun kebiasaan ramah lingkungan

Dalam rangka mengurangi sampah, murid-murid di sekolah anak kami diwajibkan membawa sendiri air mineral dari rumah dengan menggunakan botol minum. Selain itu, murid-murid juga diminta memilah sampah tak hanya di sekolah tetapi juga di rumah.    

4. Memotivasi anak untuk konsisten melakukan aksi mitigasi dan adaptasi

Bukan hanya memilah sampah, murid-murid juga diminta menanam tumbuhan di rumah. Orang tua berperan untuk mendampingi anaknya dalam merawat tumbuhan tersebut dan mencatat perkembangannya. 

5. Melakukan aksi kolektif bersama anak dan mengampanyekan ke lingkungan sekitar

Di akhir semester, sekolah anak kami menyelenggarakan Expo P5. Pada acara tersebut orang tua diundang ke sekolah untuk mendengar presentasi dan penampilan anak-anaknya seputar “Gaya Hidup Berkelanjutan”. Melalui acara ini, orang tua juga diajak turut berkontribusi dalam aksi nyata bersama anak-anaknya. 

 

 

Dokumentasi Expo P5 di SDIT Al-Irsyad Al-Islamiyyah Bandung

 

        Pendidikan Perubahan Iklim yang diperoleh anak-anak kami di sekolah menular di rumah. Sejak mengenal jenis-jenis sampah, kami sekeluarga menjadi lebih serius dalam mengelola sampah. Praktik baik yang kami lakukan antara lain memilah sampah berdasarkan jenis-jenisnya: Sampah organik kami masukkan ke compost bag, sedangkan sampah anorganik kami pilah berdasarkan kategorinya, lalu jika sudah terkumpul kami setorkan ke Bank Sampah atau kami berikan kepada pemulung untuk didaur ulang. 

        Perubahan Iklim tentunya perlu disikapi dengan bijak oleh seluruh komponen masyarakat, termasuk anak-anak. Mengutip pernyataan Kepala BSKAP, Pak Anindito Aditomo, “Kesadaran yang dibangun sejak dini akan membantu anak-anak menjadi agen perubahan dalam merespons krisis iklim yang mereka hadapi di masa depan.” Sehingga pendidikan sejak dini penting dalam meningkatkan pemahaman anak-anak tentang isu perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Mari wujudkan Pendidikan Perubahan Iklim sebagai gerakan bersama untuk generasi hari ini dan yang akan datang!

Referensi: https://kurikulum.kemdikbud.go.id/file/1724727813_manage_file.pdf

 

 

Di GSVI 2024 Dunia Menjadi Saksi Penyelarasan Teknologi dalam Transformasi Pendidikan Indonesia

             Masih ingat dengan istilah "adaptasi kebiasaan baru" saat pandemi menghampiri kita pada 2020? Beberapa bulan kemudian Kemendikbudristek mengalami transisi kepemimpinan, dari Muhadjir Effendi ke Nadiem Makarim. Kemendikbudristek pun beradaptasi. Bukan sebuah kebetulan Mendikbudristek yang baru adalah seorang technopreneur dari salah satu unicorn terbesar di Indonesia. Belakangan saya baru mendapat benang merahnya di acara Gateways Study Visit Indonesia (GSVI) 2024. Tema acara GSVI 2024 di Bali, "Menavigasi Transformasi Pendidikan," sangat relevan. Di acara ini para partisipan, termasuk saya, saling belajar untuk memahami bagaimana perubahan digital dapat mendukung transformasi pendidikan. 

Nadiem Makarim, Mendikbudristek RI 
di GSVI 2024

            Pandemi COVID-19 telah memberi tantangan bagi inovasi pendidikan Indonesia. Adanya pembatasan interaksi di luar rumah memicu pembelajaran jarak jauh, dengan teknologi digital memainkan peran penting. Seperti UNESCO yang menginisiasi Gateways Study Visit, Nadiem Makarim pun percaya bahwa banyak yang bisa dilakukan untuk membangun platform dan aplikasi untuk meningkatkan pendidikan.

            Kemendikbudristek RI telah mengambil langkah strategis dalam rangka menunjukkan komitmennya dengan mengoptimalkan teknologi bagi pendidikan. Di GSVI 2024 Nadiem Makarim mengatakan fondasi utama untuk memulai langkah pengembangan teknologi adalah dengan memiliki visi bersama antara pembuat kebijakan dan pengembang teknologi agar produk yang dihasilkan lebih efektif. Yudhistira, kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) menyampaikan dalam forum ini, ada 2 langkah awal yang telah dilakukan untuk menyelaraskan teknologi dan intervensi kebijakan. Yang pertama, menjadikannya resmi dalam dokumen perencanaan dengan menetapkan Objective Key Result (OKR) yang terintegrasi antara tim Kementrian dan teknologi. Berikutnya, merekrut tim teknologi yang visinya sejalan dan menempatkan mereka secara strategis di Kementerian. Tak hanya kedua langkah tersebut, kolaborasi lintas direktorat diperlukan untuk mencapai tujuan bersama, yaitu teknologi yang menawarkan solusi kebutuhan pengguna.  


            Bukan teknologi yang paling canggih yang dipilih, namun teknologi yang paling tepat guna, sehingga diperlukan pemahaman terhadap kebutuhan pengguna. Untuk tujuan tersebut, co-designing dilakukan dalam proses pengembangan teknologi sehingga pihak pengembang dapat memahami gambaran besar dan ekosistemnya. Pendekatan yang dilakukan bukan lagi tersentralisasi (top-down) namun desentralisasi (bottom-up). Yudhistira mengatakan, “Ekosistem teknologi yang efektif akan sangat bergantung pada tata kelola yang kuat, retensi talenta lokal, dan rasa kepemilikan yang berkelanjutan.”

            Karena menyadari adanya keterbatasan sumber daya, dalam pengembangan teknologi pun Kemendikbudristek RI telah menentukan prioritas. Dengan menimbang risiko dan manfaat, termasuk dilema penggunaan gawai bagi siswa, maka Kemendikbudristek RI tidak meletakkan teknologi di tangan peserta didik, namun di tangan para guru, kepala sekolah dan pemerintah daerah. Beberapa platform yang telah dibangun Kemdikbudristek RI dan diulas dalam GSVI 2024 antara lain:

1. Platform Merdeka Mengajar (PMM)

        Pada 2019 hanya 600 ribu guru (20% dari total guru di Indonesia) yang bisa mendapat pelatihan formal dari pemerintah pusat. Pelatihan yang ada saat itu pun sifatnya berjenjang sehingga rawan terjadi distorsi informasi. PMM mampu menjawab tantangan ini dengan menyediakan akses seluas-luasnya bagi guru untuk menyimak pelatihan atau bahan ajar dari gawainya di mana pun mereka berada. Tak hanya itu, melalui platform ini, para guru juga dapat saling berbagi praktik baik dengan guru-guru lain di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Untuk mengurangi keengganan mengadopsi teknologi oleh para guru, PMM pun dirancang sebagai platform yang simpel, ringan dan mudah digunakan.

2. Rapor Pendidikan

        Platform ini menyajikan 3 menu utama bagi kepala sekolah, yaitu: indikator prioritas, akar masalah dan insipirasi benahi. Sedangkan bagi pemerintah daerah, terdapat 3 menu utama untuk memetakan kebutuhan sekolah, yaitu: Ringkasan rapor pendidikan, indikator dan rekomendasi kegiatan. Rapor Pendidikan telah membantu pengguna, khususnya para sekolah dan pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas pendidikan berdasarkan perencanaan berbasis data sehingga prioritas perbaikan bisa ditentukan. Dengan demikian pengambilan keputusan menjadi lebih efisien dan penggunaan sumber daya pun bisa lebih tepat guna. 

3. ARKAS dan SIPLah

        Sebagian bendahara sekolah adalah tenaga pengajar di sekolah yang sebelum era Nadiem Makarim harus menghadapi prosedur yang kompleks sehingga kadang harus lembur di luar jam kerja. ARKAS dan SIPLah hadir memenuhi kebutuhan sistem manajamen keuangan sekolah yang terintegrasi, mudah dan transparan, mulai dari tahap penganggaran, penatausahaan hingga pengadaan barang dari para pemasok yang telah lolos kualifikasi. Dampak positifnya, proses pengadaan kebutuhan sekolah menjadi lebih efektif dan efisien. 

        

Salah satu halaman presentasi Iwan Syahril, PhD, Dirjen Dikdasmen
dalam GSVI 2024

        Sebagaimana proses belajar, adopsi teknologi tentunya tidak terjadi dalam semalam. Peran para Guru Penggerak sangat besar dalam proses adopsi teknologi dengan peran mereka sebagai pembawa pengaruh positif bagi sesama guru lainnya. Yang menjadi daya ungkit, atau yang disebut hockey stick gworth oleh Iwan Syahril, PhD, Dirjen Dikdasmen dalam pemaparannya, adalah ketika Kemdikbudristek RI memfasilitasi komunitas untuk berbagi pada PMM di bulan Juli 2022. Pelajaran yang dapat diambil dari PMM adalah bahwa guru dan kepala sekolah sangat antusias berbagi dan belajar dari satu sama lain. Selain itu, tidak adanya kewajiban dalam adopsi teknologi juga meningkatkan minat pengguna dari dalam diri. Dalam GSVI 2024 bahkan Erniwati, Kepala SN 066 Pekkabata, Sulawesi Barat, memberikan testimoni bahwa Rapor Pendidikan memberinya panduan bagaikan kompas dalam tiga tahun menjabat sebagai kepala sekolah. Sedangkan Kholid, Kepala Dinas Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, juga merasakan manfaat Rapor Pendidikan untuk mengurangi kompleksitas mulai dari pemetaan akar masalah hingga pencarian solusi. 

        Bagaimana kemajuan penggunaan teknologi dalam pendidikan? Data per September 2024 menunjukkan bahwa pengguna PMM mencapai lebih dari 4,3 juta, Rapor Pendidikan digunakan oleh lebih dari 844 ribu pengguna, sedangkan 1,5 juta pengguna telah menggunakan Kampus Merdeka, dan ARKAS lebih dari 420 ribu pengguna, serta SIPLah lebih dari 300 ribu pengguna. Semoga pemanfaatan teknologi dalam pendidikan dapat terus selaras dengan paradigma Merdeka Belajar dan penggunaannya pun terus berkesinambungan meski nantinya akan berganti kepemimpinan.  


#GatewaysStudyVisitIndonesia2024

Saturday, October 5, 2024

Gateways Study Visit Indonesia 2024: Mengapa Indonesia Menjadi Tuan Rumahnya?

            Awalnya kaget sih Indonesia bisa jadi tuan rumah Gateways Study Visit setelah sebelumnya Indonesia belajar terus dari negara lain mengenai sistem pendidikan. Sebagai informasi, Gateways Study Visit rutin diadakan oleh UNICEF dan UNESCO dengan tujuan untuk menjadi forum berbagi praktik baik pendidikan dari negara-negara partisipan, khususnya negara yang menjadi tuan rumah. Satu per satu pertanyaan “kok bisaaa???” di kepala saya terjawab saat saya berkesempatan menghadiri Gateways Study Visit Indonesia (GSVI) 2024 pada 1-3 Oktober 2024 lalu di Sanur, Bali.

            Mengapa delegasi 20 negara dan 9 organisasi Internasional belajar dari Indonesia? Apa istimewanya sehingga UNICEF dan UNESCO tahun ini memilih Indonesia sebagai tuan rumah? Alasannya tentu karena Indonesia sebagai negara kepulauan dengan skala besar dan kompleksitas tinggi telah menerapkan kebijakan pendidikan melalui strategi inovasi digital dan teknologi untuk mengakselerasi transformasi pendidikan. Indonesia juga mampu memulihkan diri paska pandemi setelah mengalami tantangan hilangnya pembelajaran (learning loss). 

            GSVI 2024 mengambil tema “Beyond Tech Intervention: Navigating Indonesia’s Education Transformation”. Tema ini merangkum upaya sistematis Indonesia untuk mengubah proses pembelajaran. Indonesia mengalami pergeseran paradigma baru dengan teknologi sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam strategi untuk mengubah sistem pendidikan.

            Pada acara ini terdapat serangkaian sesi Deep Dive dari berbagai narasumber terkait yang memberikan penjelasan tentang perjalanan Indonesia dalam memulai transformasi digital yang terbesar dalam sejarah pendidikan Indonesia. Dibuka dengan pemaparan dari Bapak Iwan Syahril, PhD, Dirjen Dikdasmen dengan tema “PreK-12 Tech Ecosystem: Empowering Educational Actors and Revolutionizing Learning Culture”. Pesan penting Pak Iwan yang membekas di hati saya salah satunya adalah bahwa "Guru seperti petani, murid layaknya benih." Guru harus melihat benih seperti apa yg ditumbuhkan dengan karakteristik dan kebutuhan masing-masing "benih"nya: benih mangga tidak dapat diperlakukan sama dengan benih kaktus. Begitu pula dengan siswa yang tidak bisa selalu dididik dengan cara dan materi yang sama. Oleh karena itu guru dan siswa perlu sama-sama belajar untuk meningkatkan kapasitas sesuai potensinya masing-masing. Hal ini tentunya juga berlaku di rumah: orang tua dan anak bisa menjadi guru sekaligus murid yang belajar bersama. 

Nadiem Makarim, Mendikbudristek RI dalam GSVI 2024

            Merdeka Belajar diinisiasi Mas Mentri Nadiem Makarim sebagai sebuah gerakan, bukan sekadar kebijakan pemerintah. Artinya, Merdeka Belajar menjadi upaya kolaboratif seluruh pihak yang berkepentingan: murid, guru, kepala sekolah, pemerintah daerah, seluruh komponen masyarakat termasuk orang tua. Sekolah menjadi lingkungan belajar yang menumbuhkan pelajar sepanjang hayat yang kompeten dan sesuai nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, istilah "Merdeka Belajar" kurang tepat jika diterjemahkan ke dalam bahasa inggris sebagai "independent learning", namun lebih pas "emansipated learning" seperti yang disampaikan di forum GSVI 2024 mengingat semangat yang diusung adalah pendidikan yang sesuai dengan minat dan bakat anak-anak, dengan pendidik sebagai penuntun.

            Dengan keterbatasan anggaran dan waktu, Kemendikbudristek tentu tidak mungkin berfokus menyelesaikan seluruh masalah pendidikan dalam satu waktu. Sehingga dalam rangka mengurutkan sesuai prioritas, Kemendikbudristek telah melaksanakan 26 episode Merdeka Belajar secara bertahap. Menariknya, ternyata menurut Dr. Itje Chodidjah, M.A, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO yang juga menjadi moderator dalam salah satu sesi Deep Dive, 26 episode Merdeka Belajar sejalan dengan 5 Thematic Action Track yang diamanatkan UNESCO, misalnya sekolah inklusif, setara, aman dan sehat.

Penulis berfoto bersama Dr. Itje Chodidjah, MA

            Untuk memampukan terlaksananya episode-episode Merdeka Belajar, Kemendikbudristek telah mengubah secara radikal pendekatannya untuk teknologi. Upaya ini dilakukan dalam rangka menyediakan solusi teknologi yang paling relevan dan sesuai dengan kebutuhan pengguna yang terlibat dalam Merdeka Belajar. Lagi-lagi hal ini selaras dengan Thematic Action Track UNESCO yang eempat, yaitu pembelajaran dan transformasi digital. Tujuan Kemdikbudristek RI dalam memanfaat teknologi adalah untuk meningkatkan kualitas layanan sekolah, yang bertujuan memberdayakan siswa untuk mencapai hasil belajar yang lebih baik. Sehingga seperti yang disampaikan Mas Mentri pada pidatonya di hari kedua, teknologi dibangun sebagai pemampu, bukan pengganti. Artinya, intervensi teknologi diharapkan dapat mengeluarkan potensi dan dukungan setiap manusia dengan peran mereka masing-masing, bukan menggantikan peran mereka. Platform Merdeka Mengajar (PMM) salah satunya yang telah memungkinkan para guru untuk meningkatkan keterampilan diri mereka sendiri, dengan bahan ajar yang mudah diakses dan mereka pun bisa berbagi praktik terbaik serta saling mengispirasi guru-guru lainnya dari berbagai daerah Indonesia.

            Ketua Gateways Study Visit dari UNICEF, Frank Van Capelle, mengagumi ternyata di Indonesia teknologi bukan diletakkan di depan dan berhadapan langsung dengan murid sebagai pengguna seperti yang ia kira sebelumnya. Namun teknologi menjadi "latar belakang" dengan guru, kepala sekolah serta pemangku kepentingan (stakeholders) sebagai pengguna agar kualitas layanan meningkat. Platform dibangun dengan berorientasi pada pengguna, sehingga proses pembangunannya bottom-up, bukan top-down. Sebagai bagian dari ekosistem, teknologi tentu saja takkan bisa berhasil tanpa gotong royong dan kolaborasi antar komponen masyarakat. Bagaimana kehebatan teknologi yang telah diterapkan sehingga mampu mengoptimalkan Merdeka Belajar? Bisa disimak ulasan yang lebih mendalam di unggahan saya berikutnya ya.