Saturday, October 5, 2024

Gateways Study Visit Indonesia 2024: Mengapa Indonesia Menjadi Tuan Rumahnya?

            Awalnya kaget sih Indonesia bisa jadi tuan rumah Gateways Study Visit setelah sebelumnya Indonesia belajar terus dari negara lain mengenai sistem pendidikan. Sebagai informasi, Gateways Study Visit rutin diadakan oleh UNICEF dan UNESCO dengan tujuan untuk menjadi forum berbagi praktik baik pendidikan dari negara-negara partisipan, khususnya negara yang menjadi tuan rumah. Satu per satu pertanyaan “kok bisaaa???” di kepala saya terjawab saat saya berkesempatan menghadiri Gateways Study Visit Indonesia (GSVI) 2024 pada 1-3 Oktober 2024 lalu di Sanur, Bali.

            Mengapa delegasi 20 negara dan 9 organisasi Internasional belajar dari Indonesia? Apa istimewanya sehingga UNICEF dan UNESCO tahun ini memilih Indonesia sebagai tuan rumah? Alasannya tentu karena Indonesia sebagai negara kepulauan dengan skala besar dan kompleksitas tinggi telah menerapkan kebijakan pendidikan melalui strategi inovasi digital dan teknologi untuk mengakselerasi transformasi pendidikan. Indonesia juga mampu memulihkan diri paska pandemi setelah mengalami tantangan hilangnya pembelajaran (learning loss). 

            GSVI 2024 mengambil tema “Beyond Tech Intervention: Navigating Indonesia’s Education Transformation”. Tema ini merangkum upaya sistematis Indonesia untuk mengubah proses pembelajaran. Indonesia mengalami pergeseran paradigma baru dengan teknologi sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam strategi untuk mengubah sistem pendidikan.

            Pada acara ini terdapat serangkaian sesi Deep Dive dari berbagai narasumber terkait yang memberikan penjelasan tentang perjalanan Indonesia dalam memulai transformasi digital yang terbesar dalam sejarah pendidikan Indonesia. Dibuka dengan pemaparan dari Bapak Iwan Syahril, PhD, Dirjen Dikdasmen dengan tema “PreK-12 Tech Ecosystem: Empowering Educational Actors and Revolutionizing Learning Culture”. Pesan penting Pak Iwan yang membekas di hati saya salah satunya adalah bahwa "Guru seperti petani, murid layaknya benih." Guru harus melihat benih seperti apa yg ditumbuhkan dengan karakteristik dan kebutuhan masing-masing "benih"nya: benih mangga tidak dapat diperlakukan sama dengan benih kaktus. Begitu pula dengan siswa yang tidak bisa selalu dididik dengan cara dan materi yang sama. Oleh karena itu guru dan siswa perlu sama-sama belajar untuk meningkatkan kapasitas sesuai potensinya masing-masing. Hal ini tentunya juga berlaku di rumah: orang tua dan anak bisa menjadi guru sekaligus murid yang belajar bersama. 

Nadiem Makarim, Mendikbudristek RI dalam GSVI 2024

            Merdeka Belajar diinisiasi Mas Mentri Nadiem Makarim sebagai sebuah gerakan, bukan sekadar kebijakan pemerintah. Artinya, Merdeka Belajar menjadi upaya kolaboratif seluruh pihak yang berkepentingan: murid, guru, kepala sekolah, pemerintah daerah, seluruh komponen masyarakat termasuk orang tua. Sekolah menjadi lingkungan belajar yang menumbuhkan pelajar sepanjang hayat yang kompeten dan sesuai nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, istilah "Merdeka Belajar" kurang tepat jika diterjemahkan ke dalam bahasa inggris sebagai "independent learning", namun lebih pas "emansipated learning" seperti yang disampaikan di forum GSVI 2024 mengingat semangat yang diusung adalah pendidikan yang sesuai dengan minat dan bakat anak-anak, dengan pendidik sebagai penuntun.

            Dengan keterbatasan anggaran dan waktu, Kemendikbudristek tentu tidak mungkin berfokus menyelesaikan seluruh masalah pendidikan dalam satu waktu. Sehingga dalam rangka mengurutkan sesuai prioritas, Kemendikbudristek telah melaksanakan 26 episode Merdeka Belajar secara bertahap. Menariknya, ternyata menurut Dr. Itje Chodidjah, M.A, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO yang juga menjadi moderator dalam salah satu sesi Deep Dive, 26 episode Merdeka Belajar sejalan dengan 5 Thematic Action Track yang diamanatkan UNESCO, misalnya sekolah inklusif, setara, aman dan sehat.

Penulis berfoto bersama Dr. Itje Chodidjah, MA

            Untuk memampukan terlaksananya episode-episode Merdeka Belajar, Kemendikbudristek telah mengubah secara radikal pendekatannya untuk teknologi. Upaya ini dilakukan dalam rangka menyediakan solusi teknologi yang paling relevan dan sesuai dengan kebutuhan pengguna yang terlibat dalam Merdeka Belajar. Lagi-lagi hal ini selaras dengan Thematic Action Track UNESCO yang eempat, yaitu pembelajaran dan transformasi digital. Tujuan Kemdikbudristek RI dalam memanfaat teknologi adalah untuk meningkatkan kualitas layanan sekolah, yang bertujuan memberdayakan siswa untuk mencapai hasil belajar yang lebih baik. Sehingga seperti yang disampaikan Mas Mentri pada pidatonya di hari kedua, teknologi dibangun sebagai pemampu, bukan pengganti. Artinya, intervensi teknologi diharapkan dapat mengeluarkan potensi dan dukungan setiap manusia dengan peran mereka masing-masing, bukan menggantikan peran mereka. Platform Merdeka Mengajar (PMM) salah satunya yang telah memungkinkan para guru untuk meningkatkan keterampilan diri mereka sendiri, dengan bahan ajar yang mudah diakses dan mereka pun bisa berbagi praktik terbaik serta saling mengispirasi guru-guru lainnya dari berbagai daerah Indonesia.

            Ketua Gateways Study Visit dari UNICEF, Frank Van Capelle, mengagumi ternyata di Indonesia teknologi bukan diletakkan di depan dan berhadapan langsung dengan murid sebagai pengguna seperti yang ia kira sebelumnya. Namun teknologi menjadi "latar belakang" dengan guru, kepala sekolah serta pemangku kepentingan (stakeholders) sebagai pengguna agar kualitas layanan meningkat. Platform dibangun dengan berorientasi pada pengguna, sehingga proses pembangunannya bottom-up, bukan top-down. Sebagai bagian dari ekosistem, teknologi tentu saja takkan bisa berhasil tanpa gotong royong dan kolaborasi antar komponen masyarakat. Bagaimana kehebatan teknologi yang telah diterapkan sehingga mampu mengoptimalkan Merdeka Belajar? Bisa disimak ulasan yang lebih mendalam di unggahan saya berikutnya ya.


No comments:

Post a Comment