Sunday, August 25, 2024

Bersama Berbenah Sebelum Keanekaragaman Hayati Benar-benar Punah

            "Apakah kita menganggap alam hanya sebagai gudang yang bisa dirampok demi keuntungan langsung manusia?” pertanyaan menohok ini pernah disampaikan seorang ekonom Amerika sekaligus aktivis perdamaian dunia, Kenneth E. Boulding pada 1958. Pertanyaan ini masih relevan hingga saat ini bagi manusia. Apakah manusia masih bertanggung jawab untuk memelihara keseimbangan yang baik di alam, untuk melestarikan keanekaragaman hayati, atau bahkan untuk kelangsungan rasnya sendiri untuk jangka waktu selama mungkin? 

Keanekaragaman hayati di planet bumi terdiri dari sekitar 8,7 juta spesies dari plankton laut hingga mamalia darat dan laut. Itu semua telah terbentuk selama miliaran tahun dan saling menjadi sistem penunjang kehidupan spesies lainnya dengan keunikannya masing-masing. Keanekaragaman hayati adalah sistem pendukung kehidupan planet kita, termasuk manusia di dalamnya. Kita bergantung padanya untuk bertahan hidup dengan makanan, energi, obat-obatan, air bersih, pengendalian hama, dan banyak hal lainnya. Lebih jauh lagi, manusia bahkan memanfaatkan keanekaragaman hayati untuk keperluan spiritual, ekonomi, hingga industri seperti pariwisata, pertanian, dan farmasi. Keberadaannya bahkan turut serta mempengaruhi identitas budaya. 

Pada kenyataannya, keanekaragaman hayati saat ini sangat memprihatinkan, bahkan terancam punah karena aktivitas manusia dan perubahan iklim. Laporan dari Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) menunjukkan penurunan alam secara global dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia. Spesies punah 1.000 hingga 10.000 kali lebih cepat dari biasanya. WWF bahkan melaporkan populasi satwa liar global menurun rata-rata 69% sejak 1970 dengan lebih dari 150.300 spesies terdaftar di Daftar Merah IUCN, dan 42.100 di antaranya terancam punah.

Perubahan lingkungan mengancam keberlangsungan banyak spesies, salah satunya akibat perubahan iklim. Laporan IPBES mencatat bahwa emisi gas rumah kaca telah meningkat dua kali lipat sejak 1980. Hal ini menyebabkan suhu global naik setidaknya 0,7 derajat Celsius. Dengan demikian dampak perubahan iklim akan terus meningkat. 

Tak hanya akibat perubahan iklim, kerusakan lingkungan menunjukkan dampak besar dari aktivitas manusia. Aktivitas ekonomi mendorong manusia untuk merusak lingkungan, misalnya penebangan hutan untuk membuka lahan industri atau pemukiman. Tentu saja hal ini berdampak buruk bagi kerusakan habitat banyak spesies yang turut mengganggu proses ekosistem. Penangkapan ikan berlebihan dan eksploitasi laut diperburuk dengan adanya pencemaran oleh limbah plastik juga turut mengancam ekosistem laut. Penggunaan bahan bakar fosil mencemari dan merusak habitat keragaman hayati di lautan pula. 

Bak lingkaran setan, di sisi lain ancaman kepunahan keanekaragaman hayati juga dapat mempengaruhi kualitas kehidupan manusia di seluruh dunia. Kesehatan ekosistem yang semakin memburuk dapat berdampak bagi kegiatan perekonomian, mata pencaharian, keamanan pangan dan kesehatan. Bayangkan saja, jika semakin banyak ikan di lautan yang tercemar limbah akibat ulah manusia sendiri, lalu ikan tersebut terhidang di atas meja, manusia sendiri yang terkena dampaknya, bukan? 

Belum terlambat untuk berbenah sebelum keanekaragaman hayati benar-benar punah. Untuk memelihara lingkungan sangat diperlukan manajemen terintegrasi dan partisipasi seluruh komponen masyarakat. Perubahan transformatif yang melibatkan ekonomi, sosial, politik, dan teknologi penting untuk mencapai tujuan tersebut. Kerja sama internasional mutlak diperlukan dalam upaya pelestarian lingkungan, dengan menerapkan perjanjian global untuk mengatasi polusi, seperti Perjanjian Plastik Global. Perlindungan keanekaragaman hayati dengan kerja sama internasional melalui Konvensi Keanekaragaman Hayati tentu juga bermanfaat. Upaya memperbaiki keadaan seperti yang telah disebutkan tadi perlu kita mulai sekarang melalui perubahan transformatif di semua tingkat, dari lokal hingga global. 

Di Indonesia, pemerintah telah mengelola perlindungan spesies langka berupa cagar alam dan suaka margasatwa. Misalnya suaka margasatwa Sikindur/Langkat di Sumatera Utara yang melindungi gajah, orangutan dan macan. Masyarakat adat dan komunitas pun turut berperan dengan mengelola Area Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM). Ekosistem penting di daratan dan/atau di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki keanekaragaman hayati, jasa ekologis dan nilai-nilai budaya yang dilindungi masyarakat hukum adat atau masyarakat lokal dan dikelola berdasarkan suatu sistem kebiasaan, kesepakatan, hukum adat dan/atau kearifan lokal yang berlaku di masyarakat. Contoh AKKM di Indonesia yaitu AKKM Danau Bagantung di Kalimantan Tengah yang menjadi sumber penghidupan dan mata pencaharian, koridor satwa dan gambut. Ada pula AKKM Tana’ Ulen di Kalimantan Utara, Borong Karamaka di Sulawesi Selatan, Lubuk Larangan di Riau, Leuweung Titipan di Banten, Alas Mertajati dan Danau Tamblingan, Kampung Segha di Papua dan Sasi di Maluku.

Tak hanya upaya konservasi alam, pemerintah juga melakukan pengawalan ketat terhadap pelaku ekonomi dalam mendukung praktik ramah lingkungan. Pemerintah Indonesia sedang menerapkan prinsip Circular Economy (ekonomi sirkular) di berbagai aspek untuk menggantikan prinsip Linear Economy. Prinsip ekonomi sirkular adalah sistem ekonomi yang bertujuan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi dengan mempertahankan nilai produk, bahan, dan sumber daya dalam perekonomian selama mungkin. Hal ini bertujuan untuk meminimalkan kerusakan sosial dan lingkungan sehingga dapat meningkatkan daya saing industri dan berkontribusi pada Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya Tujuan SDGs nomor 12 mengenai Konsumsi Dan Produksi Yang Bertanggung Jawab. 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI bahkan telah mengintegrasikan pembelajaran lingkungan hidup ke dalam Kurikulum Merdeka. Upaya ini menjadi salah satu cara meningkatkan kapasitas warga satuan pendidikan dan menggerakkan berbagai pemangku kepentingan untuk menindaklanjuti isu perubahan iklim. Dalam kurikulum intrakurikuler isu lingkungan hidup telah dimasukkan ke dalam Capaian Pembelajaran di mata pelajaran yang relevan seperti IPA, Biologi, Geografi, dan mata pelajaran lainnya. Sedangkan untuk kokurikuler, Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang penyampaiannya dikemas dalam tema-tema, salah satunya mengangkat tema “Gaya Hidup Berkelanjutan”. 



Ilustrasi foto: Kegiatan Expo P5 dengan tema “Gaya Hidup Berkelanjutan”di SDIT Al-Irsyad Al-Islamiyyah Bandung


Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), juga telah mencanangkan Target Indonesia Bersih Sampah 2025 melalui pengurangan sampah sebesar 30%, dan penanganan sampah sebesar 70% pada tahun 2025. Program ini sesuai amanah Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (JAKSTRANAS). Permasalahan sampah dapat turut mengancam kerusakan lingkungan dengan gas metana yang dihasilkan sehingga harus diselesaikan dari sumbernya yaitu di tingkat rumah tangga. Tiap anggota keluarga dapat melakukan 3 R dalam pengelolaan sampah: reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), recycle (daur ulang). Sampah yang terpilah akan lebih mudah dikelola, sehingga akan ramah lingkungan dan berpotensi memiliki nilai ekonomi.

 Selain bertanggung jawab dalam mengelola sampahnya, tiap keluarga sebagai satuan terkecil dalam masyarakat juga bisa berupaya dengan mengendalikan pola konsumsi sehari-hari. Dengan mengonsumsi bahan pangan berbasis lokal, jejak karbon dapat dikurangi. Selain itu, peningkatan permintaan untuk pangan organik dari konsumen tentunya meningkatkan kesadaran produsen untuk tidak menggunakan pestisida yang merusak ekosistem.             Keluarga kami pun masih terus belajar dalam pengelolaan sampah. Selain berusaha membawa botol minum setiap bepergian untuk mengurangi sampah, kami juga menyetorkan sampah-sampah anorganik yang telah terpilah sesuai kategorinya ke bank sampah induk kota Bandung. Sedangkan sampah organik sisa pengolahan di dapur kami masukkan ke compost bag yang hasil penguraiannya kami kembalikan lagi ke tanah sebagai pupuk kompos. Semoga dengan upaya yang dilakukan di setiap keluarga dapat berdampak besar bagi kelangsungan hidup banyak spesies di planet bumi.


No comments:

Post a Comment