Wednesday, April 1, 2015

Melahirkan Bayi Sungsang dengan Tenang

Setelah melahirkan Bimo, anak kedua saya, seorang teman bertanya “jadi kali ini persalinanmu lebih ramah jiwa?” Memang tak mudah menjawab pertanyaannya, tapi bisa diberi Allah kesempatan melahirkan bayi sungsang melalui persalinan normal dan spontan memang bukan hasil yang instan. Setelah diawali dengan minggu-minggu pertama pergolakan batin untuk menerima kehamilan yang tak direncana, akhirnya saya memutuskan untuk bahagia meski sesekali saya juga khawatir akan kerepotan mengurusi 2 balita kerap datang menggoda.

Berbeda dengan kehamilan pertama dulu yang tiap bulan saya ingin lihat bayi saya melalui USG, pada kehamilan kedua saya hanya datang ke dokter untuk USG sekali tiap trimester. Saya lebih banyak menemui bidan untuk periksa kandungan. Saat hamil Almira dulu tiap saya kelelahan, saya mengalami flek-flek. Alhamdulillah saat hamil Bimo, meski saya mengasuh Almira yang super aktif ke sana ke mari kandungan saya baik-baik saja. Bahkan saat saya terpeleset jatuh dari tangga tak ada flek darah yang keluar.

Tantangan yang saya hadapi selama kehamilan kedua justru dalam mengelola emosi saya sendiri. Almira yang sedang memasuki masa “terrible two” sering sekali tantrum: menangis keras tanpa sebab yang jelas, dengan durasi bisa lebih dari satu jam. Emosi saya ikut naik turun, bahkan saya kerap ikut menangis. Hingga suatu hari saya tak sengaja membaca retweetmas Reza Gunawan dari Cheri Huber yang menyebut “back to the breath”.Insight  itu saya coba praktekkan tiap kali emosi memuncak dan malah saya anggap sebagai latihan rileksasi. Kalau dulu saat hamil Almira begitu mudahnya saya meluangkan waktu untuk ikut kelas senam hamil danhypnobirthing, saat hamil Bimo saya tak mungkin menitipkan Almira di rumah dengan orang lain apalagi saat-saat tantrumnya mudah sekali kambuh. Sangat langka sekali kesempatan yang bisa saya ciptakan untuk menyepi, hening sejenak untuk rileksasi, apalagi sampai mendengarkan audio panduan rileksasi hypnobirthing. Kenyataannya baru beberapa detik saja saya sudah tidur karena kelelahan tanpa sempat menanamkan sugesti.

Dengan tak adanya waktu dan kesempatan untuk mengikuti kelas pelatihan apa pun karena tak mudah meninggalkan Almira di rumah, saya juga memutuskan untuk tak boleh tergantung pada kelas atau pelatih untuk belajar rileks, tenang dan fokus. Saya harus melatih diri saya sendiri untuk fokus pada napas saya, kekuatan emosi saya, kapan saja, bahkan saat Almira tantrum dan ketidaknyamanan kandungan sedang mencapai puncaknya.
Saya akui saya merasa sangat obsesif pada persalinan yang pertama. Dengan beberapa birth plan yang akhirnya tak terwujud, saya merasa kecewa. Belajar dari situ, akhirnya saya memutuskan untuk tak membuat syarat “saya hanya akan tenang dan merasa nyaman jika saya melahirkan di A, dengan dibantu oleh B dengan cara C “. Alfabet punya 26 huruf, jadi jika rencana A gagal masih ada 25 huruf lainnya. Saya belajar untuk berdamai dengan rencana-rencana saya sendiri. Jadi beberapa birth plan yang sudah saya buat, saya coret sendiri satu per satu.

Rencana A: Melahirkan di sebuah klinik pro gentle birth di Bandung. Saya coret.  Karena saat hari perkiraan lahir (HPL) kemungkinan besar suami saya sedang berada di luar negeri, maka akhirnya saya dititipkan ke rumah orang tua saya di Jogja.

Rencana B: Melahirkan di rumah orang tua dengan dibantu bidan. Ibu saya tidak setuju. Tak mungkin saya melawan orang tua. Apalagi saya akan butuh pertolongan mereka nantinya saat melahirkan dalam kondisi suami sedang jauh.

Rencana C: Melahirkan di klinik pro gentle birth di Klaten. Saya coret juga rencana yang ini karena kasihan kalau orang tua saya harus bolak-balik Jogja-Klaten padahal saya kemungkinan besar harus menitipkan Almira pada mereka sedangkan ada kemungkinan pula Almira maunya sering-sering ketemu bundanya.

Rencana D: Melahirkan di Rumah Sakit Bersalin (RSB) paling homy di Jogja dan pro ASI eksklusif. Awalnya saya harus melakukan negosiasi dengan suami berhari-hari karena beliau lebih cenderung ingin saya melahirkan di Rumah Sakit Umum (RSU). Alasannya, kalau ada keperluan emergencyperalatannya sudah lebih lengkap. Sedangkan alasan keberatan saya adalah kemungkinan besar Almira akan ikut menginap padahal RSU berisi tak hanya pasien yang melahirkan tapi juga pasien-pasien lain dengan berragam penyakit. Analisis risiko-manfaat kami lakukan dari sudut pandang yang berbeda.

Setelah beberapa minggu akhirnya suami saya luluh juga pada pilihan saya: Rumah sakit bersalin yang (tampak) paling nyaman, tidak terlalu ramai,paling dekat dengan rumah orang tua saya dan di sana berpraktek dr. Anisa, sp.OG, dokter kandungan yang sudah direkomendasikan ibu dan sepupu saya. Konon menurut mereka, dokter senior yang membantu persalinan mereka ini sangat mengutamakan persalinan normal dan tidak melakukan pemeriksaan USG jika memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Sayangnya saat pulang ke Jogja usia kandungan saya sudah mendekati HPL. Pada kunjungan pertama ke RSB saya gagal bertemu dr.Anisa karena beliau ke luar kota. Baru pada kunjungan kedua saya bisa bertemu beliau. Karena saya pikir bisa jadi itu pertemuan kami terakhir di ruang praktek sebelum kami bertemu lagi di ruang bersalin, maka saya putuskan untuk melupakan rencana mengenai penundaan tali pusar, burning cord clampdan menolak litotomi. Daripada kesempatan konsultasi tersebut saya gunakan untuk langsung menyampaikan proposal-proposal mengenai birth plan, akhirnya saya building rapport : membangun kedekatan dengan mengajak beliau mengobrol hal-hal yang lebih netral seperti topik mengenai keluarga. Setelah obrolan tersebut saya baru menyampaikan harapan saya agar beliau nantinya membantu untuk bisa melahirkan secara normal jika memang dimungkinkan.

Mungkin karena sudah terlatih untuk bisa fokus dan bernapas rileks kapan saja, maka saat kontraksi datang setelah sholat subuh, saya masih bisa mandi dan memandikan Almira, masih tenang untuk mengudap kurma sebagai tambahan tenaga, minum air putih dan cairan isotonik yang cukup. Kemajuan persalinan saya cukup bagus. Pukul 04.45 saya mulai melihat bercak darah di celana dalam saya, jam 05.00 saya mulai kontraksi, jam 07.00 sesampainya di Rumah Sakit Bersalin ternyata sudah pembukaan 8. Sambil menunggu dokter yang sedang membantu persalinan pasien lain yang lebih urgent, saya masih menikmati pelvic rocking sambil berpegangan tepian ranjang.

Karena sudah pernah melahirkan, jadi saat merasakan ketuban akan pecah, saya panggil bidan untuk menyiapkan alas. Setelah itu di ranjang tindakan, saat VT (periksa dalam) yang kedua bidan yang membantu dokter kaget karena ternyata yang terraba adalah KAKI, bukan kepala. Dokter kandungan tak kalah kaget karena pemeriksaan terakhir seminggu sebelumnya kepala bayi saya sudah masuk panggul. Bahkan VT yang pertama pun dokter belum menyadari posisi kaki bayi yang berada di bawah. Untungnya dengan wajah optimis, dokter saya mengatakan “Insya Allah bisa normal kok karena bayinya kecil. Nanti episiotomi saja.” Kaget memang, karena tak sedikit pun pernah terbersit mengenai kemungkinan melahirkan bayi sungsang. Jadi sama sekali saya belum punya referensi. Tapi karena saat itu sudah pecah ketuban dan pembukaan hampir lengkap, tak mungkin saya mendadakgoogling meski setengah jam sebelumnya masih sempat update status di Facebook “Sudah bukaan delapan”.

Saya tidak anti episiotomi karena sejak awal saya memang sudah mempersiapkan diri untuk menerima segala intervensi medis jika memang diperlukan. Saya juga memutuskan secara sadar untuk melahirkan dengan posisi terlentang jika memang itu memudahkan dokter dalam mengeluarkan bayi saya, apalagi nanti kakinya dulu yang akan keluar. “Bantu bunda ya Nak. Kita mohon pertolongan pada Allah.” Itu yang saya sampaikan pada bayi saya di dalam perut. Dalam masa-masa penantian pembukaan lengkap, saya memilih terus fokus untuk bernapas rileks. Tiap gelombang kontraksi datang, saya menenangkan diri sendiri sambil mengobrol dengan bayi saya “Ayo cari jalan ya Nak.” Ibu saya yang menemani juga saya minta untuk mengusap punggung agar hormone endorphine makin banyak, dan memijat di titik antara jempol dan telunjuk sebagai induksi alami. Sampai akhirnya pembukaan lengkap dan naluri saya merasa bahwa saya perlu mengejan.

Sebelum membantu mengeluarkan bayi saya, dr. Anisa memimpin kami semua yang ada di ruang bersalin untuk membaca surat Al-Fatihah. Tak semudah melahirkan Almira yang keluar kepala dahulu, untuk melahirkan adiknya yang muncul kaki dahulu saya perlu mengejan beberapa kali lebih banyak dengan tenaga beberapa kali lebih besar. Saat mengejan, sekali waktu saya sempat berteriak. Untung saja bidan mengingatkan untuk tetap tenang agar tenaga bisa dihemat. Kata ibu saya yang menemani saat itu, kaki bayi keluar dahulu satu per satu, dilanjutkan tangannya satu per satu, yang terakhir baru mengeluarkan kepalanya.

Indah sekali saat akhirnya Bimo ditelungkupkan di dada saya. Saat inisiasi menyusui dini, ASI saya pun langsung keluar meski Bimo belum bisa langsung menyusu saat itu juga. Senang sekali saya tak salah pilih RSB yang memberi saya waktu untuk berdua saja dengan bayi saya di ranjang bersalin tanpa memburu-buru untuk pindah ke ruang perawatan. Setelah 3 jam baru Bimo bisa menyusu dengan lancar.

Alhamdulillah berat Bimo saat lahir 3,1 kilogram jadi tak terlalu besar untuk dilahirkan melalui vagina meski posisinya sungsang. Soal diet selama kehamilan saya memang cukup ketat terutama di minggu-minggu terakhir. Karena tak mudah meninggalkan nasi, jadi saya memilih untuk tidak mengonsumsi makanan dan minuman yang mengandung gula putih agar penambahan berat badan janin tidak cukup drastis. Saya juga memperbanyak konsumsi buah dan sayur mengingat paska persalinan sebelumnya saya mengalami sembelit yang tidak nyaman.             

Setelah 11 bulan berlalu saya masih bersyukur bahwa setelah lahir hingga kini Bimo masih setenang dulu ketika masih di perut saya, tak banyak merepotkan bundanya. Sejak lahir dia juga tak pernah begadang. Bahkan dia bisa tidur sendiri tanpa perlu disusui dan digendong jika perutnya sudah kenyang dengan ASI. Seakan-akan dia mengerti bundanya juga perlu mengurusi kakak Almira.

Kehadiran Bimo membuat saya belajar lagi. Pertama, salah satu proses pemberdayaan diri yang penting adalah belajar pengelolaan emosi yang ternyata masih dan akan terus saya butuhkan bahkan setelah anak-anak lahir. Kedua, saya belajar untuk mengatasi kekhawatiran saya sendiri, belajar menerima situasi dan kondisi. Di saat-saat genting tanpa referensi, Bimo yang ternyata memilih posisi sungsang mengingatkan saya kembali arti berserah diri pada Allah. Manusia berrencana dan berusaha, tapi Allah Maha Berkuasa untuk Memampukan dan Mengijinkan dengan cara-Nya.

(Tulisan ini masuk dalam 10 besar nominasi cerita terfavorit dalam Lomba Menulis tahun 2013 di grup  FB Gentle Birth Untuk Semua)