Tuesday, October 8, 2024

Kolaborasi Implementasi Pendidikan Perubahan Iklim dalam Kurikulum Merdeka

        Cuaca panas ekstrem yang kita rasakan akhir-akhir ini bukan tanpa sebab. Peningkatan suhu bumi diduga sebagai tanda adanya perubahan iklim secara global. Perubahan iklim adalah pergeseran jangka panjang suhu rata-rata bumi dan kondisi cuaca. Kondisi ini disebabkan oleh meningkatnya emisi gas rumah kaca akibat pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan industrialisasi yang dilakukan manusia. Dampaknya tentu tidak bisa dianggap remeh karena dapat mengancam kelestarian keanekaragaman hayati termasuk manusia itu sendiri.  

        Dalam rangka merespon isu Perubahan Iklim ini, Kemendikbudristek RI telah mengambil langkah nyata. Melalui Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Kemendikbudristek RI menerbitkan Panduan Pendidikan Perubahan Iklim. Panduan ini merupakan bagian penting dalam Kurikulum Merdeka yang diharapkan dapat menjadi acuan bagi sekolah, guru, orang tua, dan seluruh pemangku kepentingan untuk melaksanakan pendidikan yang ramah lingkungan. Mengingat filosofi Kurikulum Merdeka tentang membangun manusia merdeka yang dapat bersandar atas kekuatannya sendiri, maka perubahan iklim pun perlu disikapi dengan adanya aksi bersama di level global maupun lokal, termasuk di tingkat satuan pendidikan. 

        Dengan adanya Pendidikan Perubahan Iklim, diharapkan peserta didik dapat dipersiapkan untuk menjadi generasi yang berketahanan terhadap dampak krisis iklim sekaligus berkontribusi dalam menurunkan emisi, serta turut menjadi solusi dalam isu lingkungan di sekitarnya. Tujuan Pendidikan Perubahan Iklim dalam Kurikulum Merdeka termasuk untuk mendukung Indonesia dalam memanfaatkan kesempatan ekonomi hijau, yaitu pertumbuhan ekonomi yang lestari dan rendah karbon, mewujudukan potensi solusi iklim berbasis alam, kesempatan pekerjaan hijau dalam transisi karbon dan pondasi bagi pengembangan keterampilan hijau. 

        Pendidikan Perubahan Iklim dalam Kurikulum Merdeka diimplementasikan dengan prinsip dan pendekatan “RAMAH”, yang merupakan kependekan dari Relevan, Afektif, Merujuk Pengetahuan, Aksi Nyata dan Holistik. Dengan prinsip relevan, Pendidikan Perubahan Iklim disampaikan dengan memberikan pemahaman global, namun diterapkan sesuai keunikan konteks krisis iklim di daerah satuan pendidikan. Pendekatan afektif artinya Pendidikan Perubahan Iklim diharapkan bisa menginspirasi untuk mengambil peran aktif dengan menyentuh perasaan/emosi, menumbuhkan empati, membangun nilai dan etika. Pendidikan Perubahan Iklim sepatutnya merujuk pengetahuan, yaitu menggunakan data illmiah, informasi teknologi, kearifan lokal, bahkan informasi yang berasal dari alam sekitar. Output Pendidikan Perubahan Iklim tentunya diharapkan menjadi aksi nyata untuk memecahkan permasalahan krisis iklim di lingkungan satuan pendidikan. Dengan adanya pendekatan holistik, isu Perubahan Iklim dapat dipelajari dalam berbagai mata pelajaran bahkan menjadi bagian dari intrakurikuler, kokurikuler, ekstrakurikuler, bahkan budaya sekolah.      

        Buku Panduan Pendidikan Perubahan Iklim yang telah diluncurkan Kemendikbudristek RI sebagai alat bantu implementasi tentunya tidak menambah beban baru di luar Kurikulum Merdeka, namun melengkapi praktik baik yang sudah berjalan. Satuan Pendidikan juga diberi keleluasaan untuk memakai sumber daya yang sudah ada. Penerapannya pun tidak hanya menggantungkan pada tenaga pendidik, tetapi melibatkan seluruh pemangku kepentingan, yaitu tenaga pendidik, peserta didik, masyarakat sekitar, pemerintah daerah, bahkan orang tua.

        Orang tua perlu mendukung Pendidikan Perubahan Iklim sesuai amanah Ki Hadjar Dewantara, yaitu pendidikan berpusat bukan hanya di sekolah dan masyarakat, tetapi juga dalam keluarga. Langkah nyata kolaborasi satuan pendidikan dengan orang tua yang dapat dilakukan antara lain: 

1. Berangkat dari konteks lokal: apa tantangan iklim di sekitar saya? 

Contohnya di Bandung, kota tempat tinggal kami, sempat terjadi penumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) hingga menyebabkan kebakaran. Dampaknya, petugas sampah tak mampu membuang sampah ke TPA hingga akhirnya sampah-sampah pun berserakan di pinggir jalan. 

2. Memberikan paparan informasi yang benar dengan mengaitkan pada konteks lokal

Di sekolah anak kami pada semester lalu dilakukan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) dengan tema “Gaya Hidup Berkelanjutan”. Pada kegiatan tersebut dilakukan pengenalan terhadap jenis-jenis sampah dan peran bank sampah di sekitar Bandung dalam pengelolaan sampah.

3. Membangun kebiasaan ramah lingkungan

Dalam rangka mengurangi sampah, murid-murid di sekolah anak kami diwajibkan membawa sendiri air mineral dari rumah dengan menggunakan botol minum. Selain itu, murid-murid juga diminta memilah sampah tak hanya di sekolah tetapi juga di rumah.    

4. Memotivasi anak untuk konsisten melakukan aksi mitigasi dan adaptasi

Bukan hanya memilah sampah, murid-murid juga diminta menanam tumbuhan di rumah. Orang tua berperan untuk mendampingi anaknya dalam merawat tumbuhan tersebut dan mencatat perkembangannya. 

5. Melakukan aksi kolektif bersama anak dan mengampanyekan ke lingkungan sekitar

Di akhir semester, sekolah anak kami menyelenggarakan Expo P5. Pada acara tersebut orang tua diundang ke sekolah untuk mendengar presentasi dan penampilan anak-anaknya seputar “Gaya Hidup Berkelanjutan”. Melalui acara ini, orang tua juga diajak turut berkontribusi dalam aksi nyata bersama anak-anaknya. 

 

 

Dokumentasi Expo P5 di SDIT Al-Irsyad Al-Islamiyyah Bandung

 

        Pendidikan Perubahan Iklim yang diperoleh anak-anak kami di sekolah menular di rumah. Sejak mengenal jenis-jenis sampah, kami sekeluarga menjadi lebih serius dalam mengelola sampah. Praktik baik yang kami lakukan antara lain memilah sampah berdasarkan jenis-jenisnya: Sampah organik kami masukkan ke compost bag, sedangkan sampah anorganik kami pilah berdasarkan kategorinya, lalu jika sudah terkumpul kami setorkan ke Bank Sampah atau kami berikan kepada pemulung untuk didaur ulang. 

        Perubahan Iklim tentunya perlu disikapi dengan bijak oleh seluruh komponen masyarakat, termasuk anak-anak. Mengutip pernyataan Kepala BSKAP, Pak Anindito Aditomo, “Kesadaran yang dibangun sejak dini akan membantu anak-anak menjadi agen perubahan dalam merespons krisis iklim yang mereka hadapi di masa depan.” Sehingga pendidikan sejak dini penting dalam meningkatkan pemahaman anak-anak tentang isu perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Mari wujudkan Pendidikan Perubahan Iklim sebagai gerakan bersama untuk generasi hari ini dan yang akan datang!

Referensi: https://kurikulum.kemdikbud.go.id/file/1724727813_manage_file.pdf

 

 

Di GSVI 2024 Dunia Menjadi Saksi Penyelarasan Teknologi dalam Transformasi Pendidikan Indonesia

             Masih ingat dengan istilah "adaptasi kebiasaan baru" saat pandemi menghampiri kita pada 2020? Beberapa bulan kemudian Kemendikbudristek mengalami transisi kepemimpinan, dari Muhadjir Effendi ke Nadiem Makarim. Kemendikbudristek pun beradaptasi. Bukan sebuah kebetulan Mendikbudristek yang baru adalah seorang technopreneur dari salah satu unicorn terbesar di Indonesia. Belakangan saya baru mendapat benang merahnya di acara Gateways Study Visit Indonesia (GSVI) 2024. Tema acara GSVI 2024 di Bali, "Menavigasi Transformasi Pendidikan," sangat relevan. Di acara ini para partisipan, termasuk saya, saling belajar untuk memahami bagaimana perubahan digital dapat mendukung transformasi pendidikan. 

Nadiem Makarim, Mendikbudristek RI 
di GSVI 2024

            Pandemi COVID-19 telah memberi tantangan bagi inovasi pendidikan Indonesia. Adanya pembatasan interaksi di luar rumah memicu pembelajaran jarak jauh, dengan teknologi digital memainkan peran penting. Seperti UNESCO yang menginisiasi Gateways Study Visit, Nadiem Makarim pun percaya bahwa banyak yang bisa dilakukan untuk membangun platform dan aplikasi untuk meningkatkan pendidikan.

            Kemendikbudristek RI telah mengambil langkah strategis dalam rangka menunjukkan komitmennya dengan mengoptimalkan teknologi bagi pendidikan. Di GSVI 2024 Nadiem Makarim mengatakan fondasi utama untuk memulai langkah pengembangan teknologi adalah dengan memiliki visi bersama antara pembuat kebijakan dan pengembang teknologi agar produk yang dihasilkan lebih efektif. Yudhistira, kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) menyampaikan dalam forum ini, ada 2 langkah awal yang telah dilakukan untuk menyelaraskan teknologi dan intervensi kebijakan. Yang pertama, menjadikannya resmi dalam dokumen perencanaan dengan menetapkan Objective Key Result (OKR) yang terintegrasi antara tim Kementrian dan teknologi. Berikutnya, merekrut tim teknologi yang visinya sejalan dan menempatkan mereka secara strategis di Kementerian. Tak hanya kedua langkah tersebut, kolaborasi lintas direktorat diperlukan untuk mencapai tujuan bersama, yaitu teknologi yang menawarkan solusi kebutuhan pengguna.  


            Bukan teknologi yang paling canggih yang dipilih, namun teknologi yang paling tepat guna, sehingga diperlukan pemahaman terhadap kebutuhan pengguna. Untuk tujuan tersebut, co-designing dilakukan dalam proses pengembangan teknologi sehingga pihak pengembang dapat memahami gambaran besar dan ekosistemnya. Pendekatan yang dilakukan bukan lagi tersentralisasi (top-down) namun desentralisasi (bottom-up). Yudhistira mengatakan, “Ekosistem teknologi yang efektif akan sangat bergantung pada tata kelola yang kuat, retensi talenta lokal, dan rasa kepemilikan yang berkelanjutan.”

            Karena menyadari adanya keterbatasan sumber daya, dalam pengembangan teknologi pun Kemendikbudristek RI telah menentukan prioritas. Dengan menimbang risiko dan manfaat, termasuk dilema penggunaan gawai bagi siswa, maka Kemendikbudristek RI tidak meletakkan teknologi di tangan peserta didik, namun di tangan para guru, kepala sekolah dan pemerintah daerah. Beberapa platform yang telah dibangun Kemdikbudristek RI dan diulas dalam GSVI 2024 antara lain:

1. Platform Merdeka Mengajar (PMM)

        Pada 2019 hanya 600 ribu guru (20% dari total guru di Indonesia) yang bisa mendapat pelatihan formal dari pemerintah pusat. Pelatihan yang ada saat itu pun sifatnya berjenjang sehingga rawan terjadi distorsi informasi. PMM mampu menjawab tantangan ini dengan menyediakan akses seluas-luasnya bagi guru untuk menyimak pelatihan atau bahan ajar dari gawainya di mana pun mereka berada. Tak hanya itu, melalui platform ini, para guru juga dapat saling berbagi praktik baik dengan guru-guru lain di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Untuk mengurangi keengganan mengadopsi teknologi oleh para guru, PMM pun dirancang sebagai platform yang simpel, ringan dan mudah digunakan.

2. Rapor Pendidikan

        Platform ini menyajikan 3 menu utama bagi kepala sekolah, yaitu: indikator prioritas, akar masalah dan insipirasi benahi. Sedangkan bagi pemerintah daerah, terdapat 3 menu utama untuk memetakan kebutuhan sekolah, yaitu: Ringkasan rapor pendidikan, indikator dan rekomendasi kegiatan. Rapor Pendidikan telah membantu pengguna, khususnya para sekolah dan pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas pendidikan berdasarkan perencanaan berbasis data sehingga prioritas perbaikan bisa ditentukan. Dengan demikian pengambilan keputusan menjadi lebih efisien dan penggunaan sumber daya pun bisa lebih tepat guna. 

3. ARKAS dan SIPLah

        Sebagian bendahara sekolah adalah tenaga pengajar di sekolah yang sebelum era Nadiem Makarim harus menghadapi prosedur yang kompleks sehingga kadang harus lembur di luar jam kerja. ARKAS dan SIPLah hadir memenuhi kebutuhan sistem manajamen keuangan sekolah yang terintegrasi, mudah dan transparan, mulai dari tahap penganggaran, penatausahaan hingga pengadaan barang dari para pemasok yang telah lolos kualifikasi. Dampak positifnya, proses pengadaan kebutuhan sekolah menjadi lebih efektif dan efisien. 

        

Salah satu halaman presentasi Iwan Syahril, PhD, Dirjen Dikdasmen
dalam GSVI 2024

        Sebagaimana proses belajar, adopsi teknologi tentunya tidak terjadi dalam semalam. Peran para Guru Penggerak sangat besar dalam proses adopsi teknologi dengan peran mereka sebagai pembawa pengaruh positif bagi sesama guru lainnya. Yang menjadi daya ungkit, atau yang disebut hockey stick gworth oleh Iwan Syahril, PhD, Dirjen Dikdasmen dalam pemaparannya, adalah ketika Kemdikbudristek RI memfasilitasi komunitas untuk berbagi pada PMM di bulan Juli 2022. Pelajaran yang dapat diambil dari PMM adalah bahwa guru dan kepala sekolah sangat antusias berbagi dan belajar dari satu sama lain. Selain itu, tidak adanya kewajiban dalam adopsi teknologi juga meningkatkan minat pengguna dari dalam diri. Dalam GSVI 2024 bahkan Erniwati, Kepala SN 066 Pekkabata, Sulawesi Barat, memberikan testimoni bahwa Rapor Pendidikan memberinya panduan bagaikan kompas dalam tiga tahun menjabat sebagai kepala sekolah. Sedangkan Kholid, Kepala Dinas Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, juga merasakan manfaat Rapor Pendidikan untuk mengurangi kompleksitas mulai dari pemetaan akar masalah hingga pencarian solusi. 

        Bagaimana kemajuan penggunaan teknologi dalam pendidikan? Data per September 2024 menunjukkan bahwa pengguna PMM mencapai lebih dari 4,3 juta, Rapor Pendidikan digunakan oleh lebih dari 844 ribu pengguna, sedangkan 1,5 juta pengguna telah menggunakan Kampus Merdeka, dan ARKAS lebih dari 420 ribu pengguna, serta SIPLah lebih dari 300 ribu pengguna. Semoga pemanfaatan teknologi dalam pendidikan dapat terus selaras dengan paradigma Merdeka Belajar dan penggunaannya pun terus berkesinambungan meski nantinya akan berganti kepemimpinan.  


#GatewaysStudyVisitIndonesia2024

Saturday, October 5, 2024

Gateways Study Visit Indonesia 2024: Mengapa Indonesia Menjadi Tuan Rumahnya?

            Awalnya kaget sih Indonesia bisa jadi tuan rumah Gateways Study Visit setelah sebelumnya Indonesia belajar terus dari negara lain mengenai sistem pendidikan. Sebagai informasi, Gateways Study Visit rutin diadakan oleh UNICEF dan UNESCO dengan tujuan untuk menjadi forum berbagi praktik baik pendidikan dari negara-negara partisipan, khususnya negara yang menjadi tuan rumah. Satu per satu pertanyaan “kok bisaaa???” di kepala saya terjawab saat saya berkesempatan menghadiri Gateways Study Visit Indonesia (GSVI) 2024 pada 1-3 Oktober 2024 lalu di Sanur, Bali.

            Mengapa delegasi 20 negara dan 9 organisasi Internasional belajar dari Indonesia? Apa istimewanya sehingga UNICEF dan UNESCO tahun ini memilih Indonesia sebagai tuan rumah? Alasannya tentu karena Indonesia sebagai negara kepulauan dengan skala besar dan kompleksitas tinggi telah menerapkan kebijakan pendidikan melalui strategi inovasi digital dan teknologi untuk mengakselerasi transformasi pendidikan. Indonesia juga mampu memulihkan diri paska pandemi setelah mengalami tantangan hilangnya pembelajaran (learning loss). 

            GSVI 2024 mengambil tema “Beyond Tech Intervention: Navigating Indonesia’s Education Transformation”. Tema ini merangkum upaya sistematis Indonesia untuk mengubah proses pembelajaran. Indonesia mengalami pergeseran paradigma baru dengan teknologi sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam strategi untuk mengubah sistem pendidikan.

            Pada acara ini terdapat serangkaian sesi Deep Dive dari berbagai narasumber terkait yang memberikan penjelasan tentang perjalanan Indonesia dalam memulai transformasi digital yang terbesar dalam sejarah pendidikan Indonesia. Dibuka dengan pemaparan dari Bapak Iwan Syahril, PhD, Dirjen Dikdasmen dengan tema “PreK-12 Tech Ecosystem: Empowering Educational Actors and Revolutionizing Learning Culture”. Pesan penting Pak Iwan yang membekas di hati saya salah satunya adalah bahwa "Guru seperti petani, murid layaknya benih." Guru harus melihat benih seperti apa yg ditumbuhkan dengan karakteristik dan kebutuhan masing-masing "benih"nya: benih mangga tidak dapat diperlakukan sama dengan benih kaktus. Begitu pula dengan siswa yang tidak bisa selalu dididik dengan cara dan materi yang sama. Oleh karena itu guru dan siswa perlu sama-sama belajar untuk meningkatkan kapasitas sesuai potensinya masing-masing. Hal ini tentunya juga berlaku di rumah: orang tua dan anak bisa menjadi guru sekaligus murid yang belajar bersama. 

Nadiem Makarim, Mendikbudristek RI dalam GSVI 2024

            Merdeka Belajar diinisiasi Mas Mentri Nadiem Makarim sebagai sebuah gerakan, bukan sekadar kebijakan pemerintah. Artinya, Merdeka Belajar menjadi upaya kolaboratif seluruh pihak yang berkepentingan: murid, guru, kepala sekolah, pemerintah daerah, seluruh komponen masyarakat termasuk orang tua. Sekolah menjadi lingkungan belajar yang menumbuhkan pelajar sepanjang hayat yang kompeten dan sesuai nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, istilah "Merdeka Belajar" kurang tepat jika diterjemahkan ke dalam bahasa inggris sebagai "independent learning", namun lebih pas "emansipated learning" seperti yang disampaikan di forum GSVI 2024 mengingat semangat yang diusung adalah pendidikan yang sesuai dengan minat dan bakat anak-anak, dengan pendidik sebagai penuntun.

            Dengan keterbatasan anggaran dan waktu, Kemendikbudristek tentu tidak mungkin berfokus menyelesaikan seluruh masalah pendidikan dalam satu waktu. Sehingga dalam rangka mengurutkan sesuai prioritas, Kemendikbudristek telah melaksanakan 26 episode Merdeka Belajar secara bertahap. Menariknya, ternyata menurut Dr. Itje Chodidjah, M.A, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO yang juga menjadi moderator dalam salah satu sesi Deep Dive, 26 episode Merdeka Belajar sejalan dengan 5 Thematic Action Track yang diamanatkan UNESCO, misalnya sekolah inklusif, setara, aman dan sehat.

Penulis berfoto bersama Dr. Itje Chodidjah, MA

            Untuk memampukan terlaksananya episode-episode Merdeka Belajar, Kemendikbudristek telah mengubah secara radikal pendekatannya untuk teknologi. Upaya ini dilakukan dalam rangka menyediakan solusi teknologi yang paling relevan dan sesuai dengan kebutuhan pengguna yang terlibat dalam Merdeka Belajar. Lagi-lagi hal ini selaras dengan Thematic Action Track UNESCO yang eempat, yaitu pembelajaran dan transformasi digital. Tujuan Kemdikbudristek RI dalam memanfaat teknologi adalah untuk meningkatkan kualitas layanan sekolah, yang bertujuan memberdayakan siswa untuk mencapai hasil belajar yang lebih baik. Sehingga seperti yang disampaikan Mas Mentri pada pidatonya di hari kedua, teknologi dibangun sebagai pemampu, bukan pengganti. Artinya, intervensi teknologi diharapkan dapat mengeluarkan potensi dan dukungan setiap manusia dengan peran mereka masing-masing, bukan menggantikan peran mereka. Platform Merdeka Mengajar (PMM) salah satunya yang telah memungkinkan para guru untuk meningkatkan keterampilan diri mereka sendiri, dengan bahan ajar yang mudah diakses dan mereka pun bisa berbagi praktik terbaik serta saling mengispirasi guru-guru lainnya dari berbagai daerah Indonesia.

            Ketua Gateways Study Visit dari UNICEF, Frank Van Capelle, mengagumi ternyata di Indonesia teknologi bukan diletakkan di depan dan berhadapan langsung dengan murid sebagai pengguna seperti yang ia kira sebelumnya. Namun teknologi menjadi "latar belakang" dengan guru, kepala sekolah serta pemangku kepentingan (stakeholders) sebagai pengguna agar kualitas layanan meningkat. Platform dibangun dengan berorientasi pada pengguna, sehingga proses pembangunannya bottom-up, bukan top-down. Sebagai bagian dari ekosistem, teknologi tentu saja takkan bisa berhasil tanpa gotong royong dan kolaborasi antar komponen masyarakat. Bagaimana kehebatan teknologi yang telah diterapkan sehingga mampu mengoptimalkan Merdeka Belajar? Bisa disimak ulasan yang lebih mendalam di unggahan saya berikutnya ya.


Sunday, August 25, 2024

Bersama Berbenah Sebelum Keanekaragaman Hayati Benar-benar Punah

            "Apakah kita menganggap alam hanya sebagai gudang yang bisa dirampok demi keuntungan langsung manusia?” pertanyaan menohok ini pernah disampaikan seorang ekonom Amerika sekaligus aktivis perdamaian dunia, Kenneth E. Boulding pada 1958. Pertanyaan ini masih relevan hingga saat ini bagi manusia. Apakah manusia masih bertanggung jawab untuk memelihara keseimbangan yang baik di alam, untuk melestarikan keanekaragaman hayati, atau bahkan untuk kelangsungan rasnya sendiri untuk jangka waktu selama mungkin? 

Keanekaragaman hayati di planet bumi terdiri dari sekitar 8,7 juta spesies dari plankton laut hingga mamalia darat dan laut. Itu semua telah terbentuk selama miliaran tahun dan saling menjadi sistem penunjang kehidupan spesies lainnya dengan keunikannya masing-masing. Keanekaragaman hayati adalah sistem pendukung kehidupan planet kita, termasuk manusia di dalamnya. Kita bergantung padanya untuk bertahan hidup dengan makanan, energi, obat-obatan, air bersih, pengendalian hama, dan banyak hal lainnya. Lebih jauh lagi, manusia bahkan memanfaatkan keanekaragaman hayati untuk keperluan spiritual, ekonomi, hingga industri seperti pariwisata, pertanian, dan farmasi. Keberadaannya bahkan turut serta mempengaruhi identitas budaya. 

Pada kenyataannya, keanekaragaman hayati saat ini sangat memprihatinkan, bahkan terancam punah karena aktivitas manusia dan perubahan iklim. Laporan dari Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) menunjukkan penurunan alam secara global dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia. Spesies punah 1.000 hingga 10.000 kali lebih cepat dari biasanya. WWF bahkan melaporkan populasi satwa liar global menurun rata-rata 69% sejak 1970 dengan lebih dari 150.300 spesies terdaftar di Daftar Merah IUCN, dan 42.100 di antaranya terancam punah.

Perubahan lingkungan mengancam keberlangsungan banyak spesies, salah satunya akibat perubahan iklim. Laporan IPBES mencatat bahwa emisi gas rumah kaca telah meningkat dua kali lipat sejak 1980. Hal ini menyebabkan suhu global naik setidaknya 0,7 derajat Celsius. Dengan demikian dampak perubahan iklim akan terus meningkat. 

Tak hanya akibat perubahan iklim, kerusakan lingkungan menunjukkan dampak besar dari aktivitas manusia. Aktivitas ekonomi mendorong manusia untuk merusak lingkungan, misalnya penebangan hutan untuk membuka lahan industri atau pemukiman. Tentu saja hal ini berdampak buruk bagi kerusakan habitat banyak spesies yang turut mengganggu proses ekosistem. Penangkapan ikan berlebihan dan eksploitasi laut diperburuk dengan adanya pencemaran oleh limbah plastik juga turut mengancam ekosistem laut. Penggunaan bahan bakar fosil mencemari dan merusak habitat keragaman hayati di lautan pula. 

Bak lingkaran setan, di sisi lain ancaman kepunahan keanekaragaman hayati juga dapat mempengaruhi kualitas kehidupan manusia di seluruh dunia. Kesehatan ekosistem yang semakin memburuk dapat berdampak bagi kegiatan perekonomian, mata pencaharian, keamanan pangan dan kesehatan. Bayangkan saja, jika semakin banyak ikan di lautan yang tercemar limbah akibat ulah manusia sendiri, lalu ikan tersebut terhidang di atas meja, manusia sendiri yang terkena dampaknya, bukan? 

Belum terlambat untuk berbenah sebelum keanekaragaman hayati benar-benar punah. Untuk memelihara lingkungan sangat diperlukan manajemen terintegrasi dan partisipasi seluruh komponen masyarakat. Perubahan transformatif yang melibatkan ekonomi, sosial, politik, dan teknologi penting untuk mencapai tujuan tersebut. Kerja sama internasional mutlak diperlukan dalam upaya pelestarian lingkungan, dengan menerapkan perjanjian global untuk mengatasi polusi, seperti Perjanjian Plastik Global. Perlindungan keanekaragaman hayati dengan kerja sama internasional melalui Konvensi Keanekaragaman Hayati tentu juga bermanfaat. Upaya memperbaiki keadaan seperti yang telah disebutkan tadi perlu kita mulai sekarang melalui perubahan transformatif di semua tingkat, dari lokal hingga global. 

Di Indonesia, pemerintah telah mengelola perlindungan spesies langka berupa cagar alam dan suaka margasatwa. Misalnya suaka margasatwa Sikindur/Langkat di Sumatera Utara yang melindungi gajah, orangutan dan macan. Masyarakat adat dan komunitas pun turut berperan dengan mengelola Area Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM). Ekosistem penting di daratan dan/atau di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki keanekaragaman hayati, jasa ekologis dan nilai-nilai budaya yang dilindungi masyarakat hukum adat atau masyarakat lokal dan dikelola berdasarkan suatu sistem kebiasaan, kesepakatan, hukum adat dan/atau kearifan lokal yang berlaku di masyarakat. Contoh AKKM di Indonesia yaitu AKKM Danau Bagantung di Kalimantan Tengah yang menjadi sumber penghidupan dan mata pencaharian, koridor satwa dan gambut. Ada pula AKKM Tana’ Ulen di Kalimantan Utara, Borong Karamaka di Sulawesi Selatan, Lubuk Larangan di Riau, Leuweung Titipan di Banten, Alas Mertajati dan Danau Tamblingan, Kampung Segha di Papua dan Sasi di Maluku.

Tak hanya upaya konservasi alam, pemerintah juga melakukan pengawalan ketat terhadap pelaku ekonomi dalam mendukung praktik ramah lingkungan. Pemerintah Indonesia sedang menerapkan prinsip Circular Economy (ekonomi sirkular) di berbagai aspek untuk menggantikan prinsip Linear Economy. Prinsip ekonomi sirkular adalah sistem ekonomi yang bertujuan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi dengan mempertahankan nilai produk, bahan, dan sumber daya dalam perekonomian selama mungkin. Hal ini bertujuan untuk meminimalkan kerusakan sosial dan lingkungan sehingga dapat meningkatkan daya saing industri dan berkontribusi pada Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya Tujuan SDGs nomor 12 mengenai Konsumsi Dan Produksi Yang Bertanggung Jawab. 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI bahkan telah mengintegrasikan pembelajaran lingkungan hidup ke dalam Kurikulum Merdeka. Upaya ini menjadi salah satu cara meningkatkan kapasitas warga satuan pendidikan dan menggerakkan berbagai pemangku kepentingan untuk menindaklanjuti isu perubahan iklim. Dalam kurikulum intrakurikuler isu lingkungan hidup telah dimasukkan ke dalam Capaian Pembelajaran di mata pelajaran yang relevan seperti IPA, Biologi, Geografi, dan mata pelajaran lainnya. Sedangkan untuk kokurikuler, Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang penyampaiannya dikemas dalam tema-tema, salah satunya mengangkat tema “Gaya Hidup Berkelanjutan”. 



Ilustrasi foto: Kegiatan Expo P5 dengan tema “Gaya Hidup Berkelanjutan”di SDIT Al-Irsyad Al-Islamiyyah Bandung


Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), juga telah mencanangkan Target Indonesia Bersih Sampah 2025 melalui pengurangan sampah sebesar 30%, dan penanganan sampah sebesar 70% pada tahun 2025. Program ini sesuai amanah Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (JAKSTRANAS). Permasalahan sampah dapat turut mengancam kerusakan lingkungan dengan gas metana yang dihasilkan sehingga harus diselesaikan dari sumbernya yaitu di tingkat rumah tangga. Tiap anggota keluarga dapat melakukan 3 R dalam pengelolaan sampah: reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), recycle (daur ulang). Sampah yang terpilah akan lebih mudah dikelola, sehingga akan ramah lingkungan dan berpotensi memiliki nilai ekonomi.

 Selain bertanggung jawab dalam mengelola sampahnya, tiap keluarga sebagai satuan terkecil dalam masyarakat juga bisa berupaya dengan mengendalikan pola konsumsi sehari-hari. Dengan mengonsumsi bahan pangan berbasis lokal, jejak karbon dapat dikurangi. Selain itu, peningkatan permintaan untuk pangan organik dari konsumen tentunya meningkatkan kesadaran produsen untuk tidak menggunakan pestisida yang merusak ekosistem.             Keluarga kami pun masih terus belajar dalam pengelolaan sampah. Selain berusaha membawa botol minum setiap bepergian untuk mengurangi sampah, kami juga menyetorkan sampah-sampah anorganik yang telah terpilah sesuai kategorinya ke bank sampah induk kota Bandung. Sedangkan sampah organik sisa pengolahan di dapur kami masukkan ke compost bag yang hasil penguraiannya kami kembalikan lagi ke tanah sebagai pupuk kompos. Semoga dengan upaya yang dilakukan di setiap keluarga dapat berdampak besar bagi kelangsungan hidup banyak spesies di planet bumi.


Tuesday, August 13, 2024

“Jarimu Harimaumu”: Bijak Bermedia Sosial Hapuskan Kekerasan Di Satuan Pendidikan

Anda tentu pernah mendengar peribahasa “mulutmu harimaum” yang bermakna bahwa perkataan dapat menyakiti orang lain. Saat ini dengan derasnya informasi, bahkan media sosial bisa diakses siapa saja, tak hanya mulut yang dapat menerkam seperti harimau, tapi juga jemari kita sebagai pengguna media sosial.

Tak seperti konten televisi yang sudah lebih terseleksi, konten informasi yang tersebar di dunia maya umumnya sangat bebas, terbuka, dan tanpa sensor. Artinya, dengan berbekal pulsa dan gawai, remaja sesungguhnya memiliki akses untuk melihat informasi apa pun, dari pornografi siber, tindak kekerasan, hingga pengaruh radikalisme.

Untuk mencegah dan memutus rantai kekerasan khususnya di satuan pendidikan serta mengoptimalkan pemanfaatan media sosial sebagai platform untuk memperkuat gerakan pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan, Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbudristek bersama Bapak Ferdiansyah, SE, MM, anggota Komisi X DPR RI, mengadakan kegiatan lokakarya dengan tema “Generasi Muda Bijak Bermedia Sosial Hapuskan Kekerasan di Satuan Pendidikan”. Acara yang berlangsung pada Minggu, 11 Agustus 2024 ini menghadirkan rektor Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya dan beberapa narasumber yang kompeten di bidangnya, antara lain Bapak Ferdiansyah (anggota komisi X DPR RI) dan beberapa pejabat dari Kemdikbudristek seperti Bapak Anang Ristanto, Ibu Ainun Chomsun dan Bapak Dede Suryaman. 

Lokakarya Kemendikbudristek dengan tema “Generasi Muda Bijak Bermedia Sosial Hapuskan Kekerasan di Satuan Pendidikan” bertujuan untuk mengajak peserta didik dan tenaga pendidik untuk bersinergi menjadi motor penggerak penolakan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan masing-masing dan menumbuhkan kesadaran generasi muda terhadap bahaya penggunaan media sosial yang tidak bertanggung jawab. Acara ini dihadiri mahasiswa-mahasiswi dari berbagai perguruan tinggi dan siswa-siswi perwakilan SMA/SMK di Tasikmalaya, serta para rektor dan guru Bimbingan Konseling.

Dalam sambutan yang disampaikan oleh Pak Anang Ristanto, Plh. Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemdikbudristek, beliau menyatakan bahwa media sosial tentu sangat banyak manfaatnya. Namun jika tidak bijak digunakan maka media sosial berpotensi menjadi media perundungan dan kekerasan verbal. Generasi muda diharapkan bijak bermedia sosial artinya mampu memilih dan memilih informasi yang diterima. Media sosial diharapkan dapat digunakan untuk hal yang positif. 

Bapak Anang Ristanto berpesan kepada hadirin untuk melakukan sikap anti kekerasan dalam bentuk apapun karena kekerasan bukan solusi masalah. Para tenaga pendidik dan peserta didik memiliki peran untuk menciptakan lingkungan yang aman dari kekerasan, baik di dunia nyata maupun maya seperti yang sudah diamanahkan dalam Permendikbudristek no.46 tahun 2023. Beliau mengajak hadirin untuk menjadikan media sosial untuk menyebarkan kebaikan, mempererat silaturahim dan digunakan untuk berkontribusi positif untuk diri sendiri dan masyarakat. 


Keynote Speaker: Pak Ferdiansyah, SE, MM (Anggota Komisi X DPR RI)



Sebagai pembicara utama, Pak Ferdiansyah membuka dengan pemaparan beberapa hasil survei dan fakta mengenai penggunaan media sosial di Indonesia. Survei Katadata Insight Center tahun 2022 menemukan 73% masyarakat Indonesia paling banyak mencari informasi di media sosial, diikuti televisi 60,7%. Ada sebanyak 191 juta pengguna aktif media sosial, atau sekitar 70% dari populasi Indonesia. Dalam laporan Digital Civility Index (CVI) pada tahun 2020 netizen Indonesia menempati urutan terbawah dalam skor kesopanan se-Asia Tenggara. Bahkan menurut Microsoft, 50% netizen Indonesia terlibat cyberbullying. Adapun kasus kekerasan di sekolah sejak 2011 hingga 202 yang dilaporkan ke KPAI sebanyak 1060 korban, 818 pelaku. Proporsi laporan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yang diterima Komnas Perempuan (2015-2021) paling banyak di kampus, sebanyak 35 persen. 

Dengan banyaknya fakta kekerasan yang terjadi di media sosial, beliau memberikan tips bijak bermedia sosial.  Pertama, menjunjung tinggi etika dalam berkomunikasi. Kedua, selektif dalam menyebarkan informasi. Ketiga, tidak menyebarkan rahasia pribadi ke ranah publik. Keempat, tidak menyebarkan rahasia pribadi ke ranah publik. Kelima, bijak dalam mengatur waktu online. Keenam, jangan lupakan adanya hak cipta. Yang terakhir, berhati-hati menyebarkan data pribadi. 

Pak Ferdiansyah menyampaikan amanah Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 pasal 2 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, bahwa upaya pencegahan dan penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan dilaksanakan dengan prinsip: nondiskriminasi, mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak, mendorong partisipasi anak, mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender, kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, mengutamakan akuntabilitas, kehati-hatian demi keberlanjutan pendidikan.

Sesi Bu Ainun Chomsun (Pegiat Media Sosial)

Dalam presentasinya, Bu Ainun mengingatkan bahwa media sosial dapat menjadi kawan, bisa juga menjadi lawan. Ia adalah alat yang bersifat netral, tergantung bagaimana penggunanya. Yang perlu dibekali dengan keterampilan adalah penggunanya. Jika penggunanya bijak, maka akan mendapat manfaat darinya. Media sosial dapat menjadi kawan baik jika kita menggunakannya sebagai sarana mengakses dan menyebarkan informasi, berinteraksi lintas generasi untuk memperluas jejaring, mengasah kreativitas untuk mengekspresikan diri, dan membuka peluang usaha dan karir. Media sosial dapat merugikan jika kita kecanduan media sosial, media penyebaran hoax, mengurangi interaksi sosial bahkan menjadi malas bergerak. 

Bu Ainun yang juga Tim Komunikasi dan Media Kemdikbudristek ini memberikan 6 tips menghindari kecanduan dan gangguan mental akibat media sosia, antara lain: Buat komitmen dengan diri sendiri, perbanyak aktivitas di dunia nyata, pelajari hal baru dan buat target, sadari kelebihan dan keterbatasan diri, evaluasi informasi yang didapat dan bila perlu mulai kebiasaan journaling untuk mengelola diri. 

Sesi Pak Dede Suryaman (Analis kebijakan ahli madya Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemdikbudristek)



Pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) merupakan tanggung jawab semua pihak, baik satuan pendidikan, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat (Kemendikbudristek) untuk memastikan lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman. Kemdikbudristek menunjukkan keseriusan untuk PPKS dengan payung hukum berupa Permendikbudristek no.46 tahun 2023. Dukungan implementasi kebijakan tersebut antara lain dalam bentuk MoU Kementerian dan Komnas Perempuan, Laman/LMS Ks Pembelajaran Melalui SPADA Indonesia (Dikti), penyusunan Juknis PPKS, Panduan, Modul, konten edukasi/video dan poster edukasi PPKS. Kemdikbud juga membuat Surat Edaran Dirjen Vokasi dan Dirjen Dikti Kegiatan Sosialisasi Kementerian, LLDikti, Perguruan Tinggi. Ada pula peningkatan kapasitas Satgas, PTN (100%) dan PTS (56,4%) dan percepatan pembentukan Satgas kekerasan seksual di PTS.

    Salah satu mandat Permendikbud PPKS adalah mewajibkan setiap perguruan tinggi untuk membentuk satgas yang memiliki tugas dan fungsi PPKS di tingkat perguruan tinggi yang berarti berada langsung di bawah pemimpin perguruan tinggi. Saat ini seluruh PTN telah membentuk Satgas PPKS dengan jumlah mencapai 1.321 orang. Sedangkan, untuk PTS jumlahnya yaitu sebanyak 1.273 orang satgas dari 147 PTS (per September 2023). Satgas PPKS dibekali dengan modul PPKS dan Buku Pedoman Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 sebagai acuan dalam melakukan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Di samping itu, Satgas PPKS juga akan terus mendapatkan penguatan kapasitas anggotanya guna memastikan pelaksanaan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Dengan adanya kerja sama antar komponen masyarakat, semoga kekerasan dapat terus dicegah dan ditangani dengan benar.



Saturday, August 10, 2024

Merawat Kelestarian Budaya melalui Indonesia Bertutur 2024

Budaya adalah identitas bangsa dan kekayaan yang sangat berharga. Budaya Indonesia yang merupakan warisan nenek moyang tidak dapat digantikan dengan apa pun. Oleh karena itu perlu dijaga kelestariannya dan diperkenalkan kepada masyarakat luas. Kemendikbudristek berfokus pada upaya merawat, melestarikan, dan menyebarluaskan warisan budaya Indonesia, serta memupuk rasa bangga terhadap kebudayaan Indonesia. Penting untuk memastikan bahwa budaya Indonesia tidak terlupakan oleh masyarakatnya sendiri.

Semangat menjaga kebudayaan Indonesia ini menjadi landasan bagi Kemendikbudristek dalam menyelenggarakan berbagai acara kebudayaan untuk publik. Salah satunya adalah Mega Festival “Indonesia Bertutur 2024” (Intur 2024) yang akan berlangsung di Bali pada Agustus mendatang. Indonesia Bertutur adalah gelaran yang diinisiasi oleh Direktorat Perfilman, Musik, dan Media dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, sebagai sarana untuk menjelajahi cagar budaya dan warisan budaya tak benda yang merupakan sumber ilmu pengetahuan dan gagasan yang relevan dengan kehidupan hari ini. 

Festival ini mengusung tema "Subak: Harmoni dengan Pencipta, Alam, dan Sesama," yang menekankan pentingnya perpaduan keragaman hayati, keseimbangan alam, dan keberlanjutan budaya. Intur 2024 bertujuan untuk menghidupkan kembali kearifan leluhur dalam kehidupan masa kini. Acara ini juga diharapkan dapat memberikan panduan dalam menghadapi tantangan masa depan. Festival ini tidak hanya sekadar pertunjukan seni, tetapi juga mengedepankan budaya berkelanjutan yang inspiratif. Dengan demikian budaya berkelanjutan dapat menjadi bagian dari pengetahuan tradisional yang dapat bertransformasi ke dalam seni kontemporer.

Kemendikbudristek sangat mempedulikan masa depan lingkungan, yang tercermin dalam prinsip-prinsip yang diterapkan pada pelaksanaan Intur 2024. Keberlanjutan hayati menjadi kunci untuk memastikan nilai-nilai kebudayaan tetap lestari dan diberdayakan dengan baik oleh masyarakat. Kombinasi antara kelestarian hayati dan kebudayaan adalah inti dari kekuatan dan kekayaan Indonesia, yang akan memastikan masa depan bangsa yang cerah dan berdaya saing.

Indonesia Bertutur 2024 diselenggarakan di Batubulan, Ubud, dan Nusa Dua, Bali. Festival ini akan menyajikan 120 karya seni pertunjukan, seni rupa, film, hingga seni media. Acara yang melibatkan 900 pelaku seni budaya ini akan berlangsung selama 12 hari, dari tanggal 7 hingga 18 Agustus 2024. Seniman yang terlibat mulai dari yang terkenal dari Bali seperti I Wayan Sudjana Suklu dan I Gede Sukarya, sineas muda Dian Sastrowardoyo, hingga pelaku seni pertunjukan dari Hongkong, Cheuk Cheung. 

Seluruh rangkaian kegiatan Intur 2024 terdiri dari 9 program, yaitu Maha Wasundari (seremoni dan pertunjukan pembukaan), Visaraloka, Kathanaya, Layarambha, Ekayana, Samaya Sastra, Anarta, Kiranamaya, dan Virama. Dalam 9 program tersebut terdapat beberapa sub acar dengan berbagai penampil. Beberapa acara seperti dalam Kathanaya akan menampilkan para tokoh adat dari berbagai tradisi di seluruh Indonesia. Sebagian acara lainnya menyuguhkan karya-karya seni yang di dalamnya memanfaatan teknologi terbaru, misalnya dalam program Visaraloka. Ada pula program Layaramba yang memutar film tari yang sudah dikurasi dari seluruh dunia. Tak hanya seni pertunjukan, kebudayaan sastra pun dapat dinikmati pengunjung di Intur 2024. 

Acara ini diharapkan dapat menjadi sumber edukasi, pengalaman, dan inspirasi bagi masyarakat, khususnya generasi muda, agar tergerak untuk ikut melestarikan warisan seni dan budaya di seluruh Nusantara. Oleh karena itu Indonesia Bertutur 2024 terbuka bagi masyarakat umum tanpa memungut biaya. Masyarakat dapat mendaftar melalui laman berikut: https://indonesiabertutur.kemdikbud.go.id/register 

Sumber: https://indonesiabertutur.kemdikbud.go.id




Friday, July 12, 2024

Transformasi Diri Setelah Menjadi Fasilitator Ibu Penggerak

Tak pernah saya sangka akan menjadi ibu yang aktif kembali ke masyarakat setelah melahirkan 4 anak. Tadinya saya ibu rumah tangga biasa yang hanya sibuk mengurus keluarga. Urusan sekolah pun sebatas menjadi pengantar dan penjemput anak-anak dan menemani mereka belajar. Dulu saya adalah ibu yang memastikan tugas sekolah mereka selesai dan mereka paham apa yang dipelajari. 

Hingga suatu hari di bulan September 2022 saya mengenal Sidina Community, mengikuti Pelatihan Ibu Penggerak Batch IX. Dari situ pola pikir saya terhadap pendidikan anak-anak mulai berubah. Seperti pendidikan Indonesia yang bertransformasi melalui Kurikulum Merdeka, pemikiran saya pun mulai bertransformasi. Pendidikan seharusnya seperti filosofi Ki Hadjar Dewantara: berpusat pada anak. Orang tua, seperti guru, menjadi fasilitator bagi proses belajar anak-anak, bukan mendikte mereka. 

Profil Pelajar Pancasila yang menjadi karakter dan kompetensi yang diharapkan untuk diraih oleh peserta didik, juga kami coba kuatkan dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, saat anak menumpahkan minuman, saya tidak langsung memberi instruksi, namun bertanya pada si anak, “Menurutmu, apa yang perlu dilakukan?” Tindakan seperti ini diharapkan dapat melatih anak-anak untuk bernalar kritis, seperti salah satu dimensi Profil Pelajar Pancasila. 

November 2022, setelah lulus seleksi, saya mendapat kesempatan untuk mengikuti Training of Trainer (ToT) Fasilitator Ibu Penggerak Sidina Community. Inilah gerbang pembuka bagi saya untuk naik kelas. Dengan sukarela menjadi Fasilitator Ibu Penggerak, saya turut andil dalam gerakan Merdeka Belajar. Fasilitator Ibu Penggerak mendapat amanah untuk melakukan sosialisasi Kurikulum Merdeka dan program-program Kemdikbud RI dengan sudut pandang sebagai orang tua. Misalnya, sosialisasi di sekolah anak-anak saya dan di sekolah-sekolah sekitar tempat tinggal mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.





Menjadi Fasilitator Ibu Penggerak artinya saya juga semakin peduli pada kegiatan di sekolah anak-anak, misalnya Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Di TK si bungsu, saya bahkan menjadi guru tamu dalam kegiatan memasak gethuk untuk mengenalkan kuliner daerah lain. Dengan membuat gethuk, anak-anak juga melatih motorik halus, belajar takaran dan kemampuan fondasi lainnya yang diperlukan dalam masa transisi PAUD ke SD. 

Karena bersifat sukarela, sosialisasi yang saya lakukan sebagai Fasilitator Ibu Penggerak bukan menjalankan perintah atasan. Inisiatif saya diperlukan, termasuk dengan memperkenalkan diri kepada sekolah-sekolah dan menawarkan materi apa yang bisa saya sosialisasikan. Ada beberapa kepala sekolah yang menolak dengan dalih padatnya kegiatan, namun ada juga juga yang menyambut baik. Sekolah yang membuka pintu bagi saya biasanya juga melihat adanya keselarasan dengan program yang sekolah adakan. 

Untuk membantu memperkenalkan diri kepada masyarakat mengenai peran saya sebagai Fasilitator Ibu Penggerak, saya pun mengunggah dokumentasi kegiatan sosialisasi ke media sosial khususnya instagram. Saya juga membuat konten-konten berupa carousel dan reels untuk menjelaskan Kurikulum Merdeka. Dengan demikian, saya berharap teman-teman juga dapat mengetahui bahwa Kurikulum Merdeka mengajak para orang tua untuk berpartisipasi lebih aktif dalam pendidikan Indonesia.  

Bergabung di Sidina Community sebagai Fasilitator Ibu Penggerak memperluas jejaring saya khususnya di kalangan sesama ibu. Bukan sembarang ibu, namun ibu-ibu pembelajar sepanjang hayat dan saling menginspirasi. Apalagi di Sidina Community banyak sekali webinar yang dapat diikuti dengan beraneka tema, tak hanya di bidang pendidikan. Ibarat bergaul dengan penjual parfum yang tertular wangi, saya pun tertular budaya senang belajar.